Kondisi Buruh perkebunan sawit di Indonesia jauh di dari kata sejahtera. Hal ini dapat di lihat berbagai media dan juga hasil temuan kawan-kawan serikat buruh, di mana banyak terdapat kasus-kasus buruh perkebunan sawit, baik itu buruh perkebunan sawit milik swasta juga BUMN.
Kalbar yang menjadi salah satu provinsi dengan luas ijin perusahaan
perkebunan sawit terluas nomor 3 di Indonesia. Kondisi buruh perkebunan sawit
sangat memperhatikan. Kasus-demi kasus, seperti upah yang rendah, beban kerja yang
tinggi, intimidasi (PHK dan Kriminalisasi) oleh manajemen sampai kasus buruh
meninggal di sebabkan keracunan pestisida pun telah terjadi.
Kasus-kasus yang terjadi tidak menjadi perhatian serius pemerintah
daerah apa lagi pusat, begitu juga perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang mengabaikan
hak-hak Kesehatan Buruh perkebunan sawit (data kasus terlampir).
Masalah yang di hadapi buruh perkebunan sawit dihadapi buruh
dengan perjuangan sendiri, tidak menjadi satu kesatuan di mana kasus yang di
hadapi buruh perkebunan sawit hampir di semua perusahaan perkebunan sawit memiliki
kasus yang sama, namun perjuangan di lakukan sendiri-sendiri oleh buruh dan
atau serikat buruh.
Undang-Undangan dan peraturan yang di buat oleh pemerintah
pun belum menyentuh keadaan buruh perkebunan sawit. Faktanya buruh perkebunan
sawit memiliki karakter yang berbeda dengan buruh manufaktur. Kebijakan
pemerintah seperti inpres moratorium hanya bicara pada aspek perijinan belaka tanpa
menyentuh kondisi buruh perkebunan
sawit. Buruh perkebunan sawit, hanya menjadi tameng perang jika ada tuntutan
dari internasional, perkebunan sawit harus memperhatikan aspek lingkungan.
Penyetopan pembelian CPO oleh Eropa, buruh di jadikan garda
terdepan dengan mengatakan bahwa aspek hutan penting namun ribuan buruh bahkan
jutaan buruh akan terancam kehilangan pekerjaan. Jargon-jargon ini menyebabkan sebagian
pihak menganggap bahwa buruh perkebunan sawit anti terhadap kerusakan
lingkungan, hutan dll.
Fakta di lapangan kerusakan lingkungan juga berdampak pada
produktivitas kerja buruh, justru buruh bekerja dalam kondisi lingkungan yang tidak
sehat. Air bersih susah di dapat, tetap panen Buah sawit meskipun kondisi lahan
banjir, kebakaran hutan dan asap buruh pun tetap kerja. Artinya tidak benar
buruh anti terhadap kerusakan lingkungan. \
Selain itu sangat terbatas CSO / NGO yang mengadvokasi Buruh
perkebunan sawit, walau kita tahu minyak goreng, mentega, es krim dan
barang-barang kebutuhan rumah tangga berasal dari tenaga yang di keluarkan oleh
buruh perkebunan sawit.
Berangkat dari penjelasan di atas, beberapa serikat buruh
kebun sawit dan buruh kebun sawit yang belum berserikat serta tokoh-tokoh adat,
aktivis yang selama ini bekerja pada isu
sosial dan lingkungan melakukan pertemuan dengan membahas banyak masalah di
buruh perkebunan sawit, yang kemudian sepakat membentuk Aliansi Bersama dengan
nama Aliansi Buruh Kebun Sawit Kalimantan Barat (ABKSKALBAR).
Pembentukan berdasarkan musyawarah yang alot dan kerja
karena membicarakan nasib ke depan Buruh perkebunan sawit khususnya yang ada di
Kalimantan Barat. Aliansi ini dibentuk pada tanggal 31 Oktober 2020 di
Kabupaten Ketapang.
Isu perubahan iklim terus bergema bukan tanpa alasan,
masalah perubahan iklim menjadi perhatian serius. Perubahan iklim tidak saja
merujuk kepada meningkatnya suhu permukaan bumi, tetapi juga menurunnya suhu
permukaan bumi. Saat ini perubahan iklim pada kenaikan suhu permukaan bumi atau
yang disebut pemanasan Global.
Perubahan iklim dan pemanasan global memberikan dampak negatif
yang sangat serius bagi ekosistem. Perubahan iklim juga menambah deretan
permasalahan tentang keberlangsungan lingkungan hidup dan kehidupan manusia
yang semakin terancam.
Hal ini di antaranya seperti gelombang panas ekstrem yang
mengakibatkan kebakaran lahan dan hutan maupun kekeringan yang amat sangat.
Gelombang panas ini secara kesehatan memicu penyakit gangguan pernafasan dan
wabah penyakit lainnya akibat ketidakseimbangan ekosistem termasuk gangguan
resapan air dan banjir besar.
Orang yang hidup dalam kemiskinan akan menjadi yang paling
terdampak oleh lonjakan perubahan iklim global terutama dalam hal kesehatan. ( https://lingkunganhidup.co)
Penyebab pemanasan Global
Eksploitasi minyak dan gas bumi untuk kebutuhan bahan bakar
mesin-mesin pelepas CO2 adalah penyebab utama rusaknya lapisan ozon. Selain itu
diketahui bahwa eksploitasi batu bara juga berdampak pada pemanasan global.
Kemudian Laju ekspansi perkebunan sawit menjadi penyebab
pemanasan global lainnya yang semakin akut. Alasan ini bukan tanpa sebab,
pembangunan perkebunan sawit skala besar membutuhkan lahan yang luas. Khusus di
Indonesia pembangunan perkebunan sawit menggusur hutan, membuka gambut dan
membakar (sejak zaman kolonial).
Penggusuran hutan, pembukaan lahan gambut dan praktik bakar
secara signifikan berkontribusi terhadap peningkatan suhu bumi atau pemanasan
global. Sebagai paru-paru dunia, Indonesia mendapat perhatian serius dari internasional
karena masifnya laju ekspansi perkebunan sawit yang sudah mencapai 16,4 juta
Ha.
Deforestasi yang terus berlanjut menimbulkan tekanan dari
internasional terutama negara-negara Uni Eropa, Amerika dan negara-negara yang memiliki
kebijakan dan perhatian serius atas perubahan iklim meminta Indonesia untuk
memperhatikan aspek lingkungan dan manusia.
Jawaban atas tekanan
Tekanan untuk menghentikan pembukaan hutan dan lahan gambut
untuk perkebunan sawit skala besar dijawab pemerintah dengan berbagai
kebijakan, mulai dengan moratorium (penundaan) pemberian izin baru dan
penyempurnaan kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Namun kebijakan
tersebut disangsikan efektivitasnya melihat masih banyaknya pembukaan hutan dan
lahan gambut untuk perkebunan sawit yang terjadi.
Selain pemerintah, perusahaan-perusahaan besar perkebunan
sawit juga melihat adanya kepentingan pasar dan tanggung jawab perusahaan untuk
menekan pemanasan global. Sehingga pada tahun 2015 WILMAR menjadi pelopor
pembuatan kebijakan soal stop gusur hutan, stop tanam sawit di gambut dan stop
pelanggaran HAM, yang dikenal dengan kebijakan No Deforestation, No Peat and
No Exploitation (NDPE).
Kebijakan ini awalnya diberlakukan pada anak perusahaan
Wilmar dan juga rantai pemasok Wilmar. Dan sejak tahun 2015 sudah banyak perusahaan-perusahaan
yang mengikuti langkah tersebut menerapkan kebijakan NDPE, bahkan diadopsi oleh
berbagai Buyer, Brand dan bank internasional. 5 tahun setelah
digagas, kebijakan NDPE masih menghadapi banyak tantangan dalam pelaksanaannya,
termasuk juga penolakan dari pihak perusahaan perkebunan sawit.
Berdasarkan uraian di atas Aliansi Buruh Kebun Sawit
Kalimantan Barat:
1.
Mendukung kebijakan NDPE, karena perubahan iklim
sangat berdampak pada buruh perkebunan sawit dan masyarakat sekitar konsesi
berupa banjir dan iklim ekstrem panas yang kemudian berisiko kebakaran lahan
gambut terbuka. Dampak dari kondisi ini dirasakan oleh buruh kebun yang bekerja
pada kerja-kerja produksi buruh dan kondisi kesehatan buruh. Ditambah lagi
banyak perusahaan-perusahaan yang belum memiliki standar pelayanan kesehatan yang
baik bagi buruh kebun sawit, apa lagi penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3).
2.
Mendesak perusahaan Wilmar, Sinarmas, Frist
Resources, Musimas, FGV, Bumitama Gunajaya Agro, Cargill dan perusahaan
perkebunan sawit lainnya untuk menjalankan kebijakan NDPE secara serius dan
konsisten, supaya memperlakukan kebijakan ini tidak hanya pada pihak perusahaan
penyuplai/ pemasok saja namun juga kepada anak-anak perusahaan baik anak perusahaan
langsung atau juga anak perusahaan tidak langsung (pemisahan induk manajemen).
Kemudian memastikan perusahaan-perusahaan penyuplai yang belum memiliki
kebijakan untuk memiliki dan menerapkan kebijakan NDPE
3.
Buyer dan Brand harus memastikan bahwa
perusahaan-perusahaan pemasok telah menerapkan kebijakan NDPE dengan melakukan
pemantauan langsung dan melibatkan pihak independen. Dalam hal ditemukan bahwa perusahaan-perusahaan
pemasok tidak menerapkan kebijakan NDPE secara sungguh-sungguh supaya ditindak
tegas melalui tindakan perbaikan ataupun jika berhasil supaya memutuskan
hubungan kemitraan/ pemutusan pembelian.
4.
Perusahaan-perusahaan yang telah memiliki dan
menerapkan kebijakan NDPE memiliki kewajiban untuk melakukan perbaikan akibat
dari pembukaan perkebunan, terutama perbaikan atas kondisi sosial masyarakat
(Konflik agraria, bagi hasil mitra plasma) dan lingkungan di area konsesi dan
sekitar konsesi, bukannya jauh di luar konsesi apa lagi berbeda kabupaten /
provinsi yang kemudian diklaim telah melakukan perbaikan.
5.
Melakukan perbaikan kondisi buruh perkebunan
sawit yang saat ini tereksploitasi beban kerja yang tinggi sementara upah tidak
sesuai dengan hidup layak atau tidak sesuai dengan UMP, K3 yang tidak di
jalankan, status kerja buruh yang tidak jelas, intimidasi ketika buruh
berserikat, kriminalisasi terhadap buruh, fasilitas kerja yang minim, dll.
6.
Mendesak kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk mengeluarkan regulasi khusus untuk melindungi buruh perkebunan
sawit. Buruh perkebunan sawit dengan berbagai macam pekerjaannya sangat berbeda
dari buruh industri/ manufaktur, sehingga perlu regulasi sendiri untuk buruh
perkebunan sawit. UU NO 11 tahun 2020 (Undang-undang Cipta Kerja) bukan solusi
dari kondisi objektif buruh perkebunan sawit.
Kebijakan NDPE ini jika dijalankan secara baik dan konsisten
akan memberikan dampak baik terhadap ekonomi, lingkungan dan perlindungan hak
kepada rakyat, negara dan perusahaan (investasi). Sehingga mampu menjawab
tantangan atau tekanan internasional yang selama ini terjadi, yang berimbas
pada buruh dan masyarakat yang akan mengalami eksploitasi.
Kami dari Aliasi Buruh Kebun Sawit Kalimantan Barat akan
melakukan pengawasan berjalannya kebijakan NDPE ini dan bersedia bekerja sama dengan pemerintah, perusahaan dan pihak mana
pun, yang terpenting tidak melanggar prinsip-prinsip dalam organisasi demi
perbaikan bersama
No |
Temuan Masalah |
1 |
Pengupahan 1.1.
Tidak transparan dalam perhitungan upah bagi
buruh panen 1.2.
Tidak
diberikannya upah buruh sesuai dengan ketentuan upah minimum 1.3.
Tidak diberikan slip gaji kepada buruh 1.4.
Komponen dalam slip gaji tidak memuat nama
perusahaan 1.5.
Potongan upah buruh panen yang terlalu besar |
2 |
Kebebasan Berserikat 2.1 Tidak ada pengakuan dari perusahaan bagi serikat buruh
independen 2.2. Intimidasi terhadap pimpinan serikat dan anggotanya 2.3. Mutasi sepihak yang dilakukan perusahaan kepada
pimpinan serikat buruh |
3 |
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) 3.1. Tidak diberikan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai
dengan bagian kerja 3.2. Minim Pemeriksaan kesehatan secara berkala 3.3. Tidak ada pelatihan tentang pentingnya penggunaan APD
kepada buruh 3.4. SOP penggantian APD dan APK tidak disosialisasikan. 3.5. Penggunaan bahan kimia Paraquat dan racun oleh
buruh tanpa sosialisasi dan pelatihan 3.6. SOP penanganan kecelakaan kerja tidak sesuai standar
dan tidak disosialisasikan 3.7. Tidak tersedianya Rumah Bilas bagi buruh yang bekerja
bersentuhan dengan racun dan pupuk |
4 |
Tidak ada kepastian status kerja bagi buruh |
5 |
Minimnya fasilitas kesehatan serta fasilitas penunjang
lainnya |
Pontianak, 10 November 2020
Firmansyah Jumanto Balasa
Ketua Aliansi Buruh Kebun Sawit Kalbar (ABKS-KALBAR)
Nomor Kontak : 081258373124
Email : aliansiburuhkebun.kalbar@gmail.com
Website/Blog : aliansiburuhkebunsawitkalbar.wordpress.com
Facebook : facebook.com/aliansiburuhkebun.kalbar.1
Talks
Posting Komentar