![]() |
Buruh kebun PT. Citra Agro Kencana dan keluarganya menempati kantor Disnaker |
Jaringan Solidaritas
Transnasional Buruh Kelapa Sawit
Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Kelapa Sawit (TPOLS) mendapatkan laporan dugaan pelanggaran hak dasar perburuhan di perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan laporan dari serikat buruh anggota jaringan, kami menemukan adanya sejumlah kesamaan praktik ketenagakerjaan yang menyalahi standar hak asasi manusia di antara perusahaan transnasional kelapa sawit. Praktik ketenagakerjaan tersebut juga bertentangan dengan kebijakan-kebijakan ‘keberlanjutan’ yang diklaim oleh perusahaan—yang juga telah memiliki sertifikat RSPO.
Di Musi Rawas, Sumatera Selatan, seorang buruh perempuan bekerja selama
bertahun-tahun dengan status harian lepas di kebun milik PT. Agro Kati Lama.
Sepanjang tahun itu juga, upahnya paling banyak sebesar Rp. 1.400.000—UMK Musi
Rawas tahun ini sebesar Rp. 3.195.273. Bertahun-tahun lamanya, Ia juga bekerja
tanpa hubungan kerja yang pasti, melainkan direkrut melalui pihak ketiga untuk
pekerjaan perawatan yang dilakukannya.
Di Kalimantan Timur, buruh kebun PT. Citra Agro Kencana diusir paksa oleh
perusahaan dengan tuduhan telah terpapar Covid-19 akibat mengikuti aksi unjuk
rasa di Samarinda—sekalipun tidak ada bukti dan buruh sendiri telah menjalani rapid-test
mandiri. Sementara di PT. Kutai Agro Lestari, iuran BPJS yang selama ini
memotong upah buruh ternyata tidak disetorkan oleh perusahaan.
Di Kutai Kartanegara, PT. Jaya Mandiri Sukses dan PT. Suryabumi Tunggal
Perkasa, dua perkebunan penyuplai buah sawit ke kilang Bangkirai milik PT. Jaya
Mandiri Sukses, membayar buruhnya di bawah ketentuan upah minimum dengan
fasilitas perumahan yang amat minim dan tanpa memberikan hak cuti.
Meski buruh di kelima perkebunan di atas bekerja di bawah perusahaan yang
berbeda, namun kelimanya bekerja dalam kondisi yang tipikal. Jaringan TPOLS
menemukan kesamaan praktik ketenagakerjaan yang diterapkan oleh banyak
perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Praktik—yang juga ditemukan di kelima perusahaan—di antaranya perekrutan
pekerja melalui pihak ketiga (broker tenaga kerja, yayasan outsourcing
dan sejenisnya. Status pekerja yang direkrut melalui cara ini biasanya
berstatus sebagai harian lepas. Hubungan kerjanya, termasuk tanggung
jawab pemenuhan hak buruh, dialihkan melalui pihak ketiga. Buruh harian lepas
direkrut tanpa perikatan kerja yang jelas dan secara tertulis—beberapa di
antaranya ditulis dengan pulpen di atas secarik kertas.
Dalam hal sistem pengupahan, perusahaan perkebunan kelapa sawit umumnya
menerapkan upah satuan hasil (piece-rate). Sistem pengupahan ini
berlaku untuk semua kategori pekerjaan inti produksi minyak kelapa sawit: mulai
dari bagian pembibitan, perawatan, hingga pemanenan. Melalui sistem ini, buruh
diupah berdasarkan berapa banyak ton buah kelapa sawit yang dipetik, atau berondolan
biji sawit yang dipungut ke dalam karung, berapa luas hektar area yang
disemprot herbisida atau ditabur pupuk kimia.
Sistem pengupahan ini membuat buruh mendapatkan upah yang amat rendah dan
tidak menentu. “Paling besar saya mendapat gaji sebanyak Rp. 1.600.000. Tapi
jarang sekali. Biasanya sekitar Rp. 1.400.000,” kata Endang (35 tahun) buruh
perempuan harian lepas di PT. Agro Kati Lama. Upah yang diterima Endang dan
ratusan BHL lainnya ini berjumlah kurang dari setengah UMK di Kabupaten Musi
Rawas pada 2020 yang berjumlah Rp. 3.195.273.
Untuk mengejar pendapatan yang minimal, sistem pengupahan ini memaksa buruh
untuk bekerja dengan keras, cepat dan tidak jarang melibatkan anggota
keluarganya—termasuk anak, seperti di PT. Kutai Agro Lestari, dan PT.
Jaya Mandiri Sukses. Dalam kasus yang kami temukan, perusahaan mengelak atas
tuduhan mempekerjakan buruh anak. Namun, pengertian buruh anak tidak melulu
berarti seorang anak yang direkrut secara formal oleh perusahaan. Sistem upah satuan
hasil, serta target yang terlampau berat melahirkan buruh anak.
Buruh kebun di kelima perkebunan tersebut juga bekerja dengan kondisi
kesehatan dan keselamatan yang amat rentan. Pada saat siklus pemupukan
tiba, pekerja BHL ditargetkan menghabiskan 500 kg pupuk setiap harinya. Astuti
(45 tahun), BHL perempuan bagian perawatan sering mengeluhkan iritasi mata dan
kulit yang dialaminya selepas bekerja mengaplikasikan pupuk. “Kalau debu pupuk
kena mata dan tangan, itu perih sekali,” kata Astuti. “Mata saya bisa perih
selama dua hari akibat iritasi.”
Kerentanan buruh kebun, baik bagian pemanenan maupun perawatan, diperparah dengan minimnya alat pelindung diri (APD) yang efektif. Buruh yang menyemprot racun kimia maupun menabur pupuk kimia umumnya hanya diberikan selembar masker kain—secara tidak reguler. Buruh di kelima perkebunan sawit juga melaporkan bahwa kebanyakan mereka harus mengeluarkan biaya sendiri untuk melengkapi dirinya dengan APD seadanya.
Perusahaan Kebun |
Lokasi |
Kilang |
Perusahaan Induk |
Keanggotaan RSPO |
Buyer |
|
1 |
Citra Agro Kencana |
Kalimantan Timur |
Ketapang Agro Lestari |
First Resources |
1-0047-08-000-00 |
Nestle |
Keluhan
pekerja: 1)
pemutusan hubungan kerja sepihak dan pengusiran paksa, 2) tidak ada cuti haid
dan melahirkan, 3) keterlambatan pembayaran upah, 4) sistem perekrutan
melalui pihak ketiga untuk pekerjaan inti, 5) sistem kerja target dengan
beban terlampau berat, 6) dugaan pemberangusan serikat |
||||||
2 |
Jaya Mandiri Sukses |
Kutai Kartanegara, Kalimantan |
Bangkirai Mill PT. Jaya
Mandiri Sukses |
Eagle High Plantation |
1-0048-08-000-00 |
Nestle |
3 |
Suryabumi Tunggal
Perkasa |
Kutai Kartanegara, Kalimantan |
Nestle |
|||
Keluhan
pekerja: 1)
Pembayaran THR dengan dicicil, meski aktivitas produksi tidak terganggu
Covid-19, 2) fasilitas perumahan buruk, 3) pembayaran upah di bawah ketentuan
upah minimum, 3) status hubungan kerja dialihdayakan melalui pihak ketiga, 4)
keterlibatan buruh anak, 5) perlindungan dan jaminan kesehatan dan
keselamatan kerja yang buruk, 6) tidak ada hak cuti berbayar, 7) alat kerja
tidak disediakan perusahaan
|
||||||
4 |
Kutai Agro Lestari |
Kalimantan |
PT. Kutai Agro Lestari |
CT Agro Kaltim |
n/a |
Nestle |
Keluhan pekerja: 1) Pembayaran upah di bawah UMK, 2)
penggelapan iuran BPJS yang telah memotong upah, 3) tidak ada hak cuti
dibayar, 4) pembayaran THR dengan dicicil, 5) fasilitas perumahan buruk, 6)
status buruh kontrak dan kasual selama bertahun-tahun tanpa pengangkatan, 7)
perlindungan dan jaminan kesehatan keselamatan kerja yang buruk dan tanpa
penyediaan Alat Pelindung Diri yang efektif, 8) keterlibatan buruh anak, 9)
pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon
|
||||||
5 |
Agro Kati Lama |
Musi Rawas, Sumatera Selatan |
PT. Dendymarker Indah Lestari |
SIPEF Group |
1-0021-05-000-00 |
Nestle |
PT. Sawit Mas Sejahtera |
Golden Agri Resources |
1-0096-11-000-00 |
Nestle |
|||
Keluhan
pekerja: 1)
perekrutan pekerja dan pengalihan pemenuhan hak buruh melalui pihak ketiga,
2) perlindungan dan jaminan kesehatan keselamatan kerja yang buruk dan tanpa
penyediaan Alat Pelindung Diri yang efektif, 3) Pembayaran upah di bawah UMK,
4) tidak ada hak cuti dibayar, 5) status buruh kontrak dan kasual selama
bertahun-tahun tanpa pengangkatan
|
Paling tidak sejak 5 tahun terakhir, berbagai laporan investigasi maupun
penelitian telah mengungkap sejumlah bentuk eksploitasi perusahaan perkebunan
kelapa sawit terhadap pekerja. Dari Medan hingga Boven Digoel, dan dari
Sumatera Selatan hingga Sulawesi Tengah, perusahaan transnasional kelapa sawit
yang mengklaim menjalankan bisnis secara berkelanjutan nyatanya melakukan
sejumlah tindakan pelanggaran hak asasi manusia.
Seperti halnya laporan investigasi oleh Associated Press yang belum lama rilis, TPOLS juga menemukan keterhubungan apa yang
terjadi di perkebunan sawit di Sumatera Selatan dan Kalimatan Timur dengan
rantai pasok global. Perkebunan kelapa sawit yang dipersoalkan dalam konteks
ini merupakan bagian dari perusahaan transnasional yang beroperasi secara
lintas benua. Perusahaan-perusahaan ini juga beroperasi di berbagai wilayah di
Indonesia.
Pada penelusuran lebih jauh, TPOLS juga menemukan kelima perkebunan di atas
memasok buah yang telah diproses di kilang pengolahan ke Nestle sebagai pihak
Buyer. Dalam Nestlé supply chain disclosure: palm oil (April 2020),
perusahaan yang mengurus penjualan dan pembelian minyak sawit kepada Nestle
dari kelima perusahaan perkebunan, di antaranya seperti 1) Archers Daniels
Midland, 2) Bunge Loders Croklaan, 3) Cargill, 4) Wilmar, 5) Fuji Oil, 6)
Gemini Edibles & Fats, 7) LDC India, 8) Oleo Fats, dan 9) City Golden Hope.
Hasil penelusuran rantai pasok global di atas menunjukkan bahwa kondisi
kerja di tingkat hulu produksi berada di bawah tanggung jawab sepenuhnya
perusahaan yang ada di atasnya, termasuk Induk Perusahaan dan Pihak Pembeli. SIPEF
misalnya, mengklaim memiliki kebijakan ‘Responsible Plantation Policy’ yang
memuat kebijakan tentang kesehatan dan keselamatan kerja serta hak asasi
manusia. Nestle, di pihak lain juga telah mengadopsi kebijakan No.
Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE).
Temuan adanya dugaan pelanggaran hak dasar perburuhan yang dilaporkan oleh
anggota jaringan TPOLS memberikan indikasi tidak efektifnya kebijakan-kebijakan
‘keberlanjutan’ yang diklaim dan dipromosikan oleh industri sawit global. Fakta
ini juga di saat yang bersamaan menunjukkan lemahnya pengawasan pihak
Pemerintah Indonesia dalam memastikan tanggung jawab perusahaan memenuhi hak
dasar buruhnya.
Untuk itu, kami menuntut agar pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit,
induk perusahaan dan Pihak Pembeli untuk:
2)
Melakukan
verifikasi independen atas temuan pelanggaran hak buruh dengan pihak ketiga
yang kompeten dan kredibel di bidang ketenagakerjaan dan hak asasi manusia.
Serikat independen, dalam hal ini, SBSS dab SPN dan buruh harus terlibat dan
diwawancara langsung oleh pelaku verifikasi tanpa kehadiran pihak perusahaan
dan dengan jaminan tidak akan ada tindakan balasan dalam bentuk apa pun dan
kerahasiaan identitas buruh.
3)
Mempublikasikan
rencana tindakan korektif atas dugaan pelanggaran hak yang kami temukan dengan
rencana dan implementasi dengan target terukur
4)
Mengangkat
semua pekerja harian lepas dan pekerja kontrak maupun alih-daya (outsourcing)
menjadi pekerja tetap/ permanen (PKWTT/ SKU), terutama buruh perempuan.
5)
Memastikan
bahwa kebijakan perusahaan inti diterapkan dan dipantau pada seluruh rantai
pasok. Perusahaan induk harus lebih menaruh perhatian pada basis pemasok yang
berisiko tinggi melanggar hak-hak buruh.
Untuk pihak Pemerintah Indonesia agar
1)
Melakukan
pengawasan dan investigasi secara efektif dan menyeluruh dengan partisipasi
aktif buruh dan serikat buruh.
2)
Dalam rangka
mencapai poin di atas, Pemerintah Indonesia perlu untuk menambah personel dan
sumber daya Dinas Tenaga Kerja untuk secara rutin dan efektif memantau
kepatuhan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
3)
Menetapkan
sanksi terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran atas hak dasar
perburuhan
4)
Memastikan
terpenuhinya hak dasar buruh sesuai dengan prinsip kerja dan hidup layak dengan
jaminan kepastian kerja.
Jakarta, 20 November 2020
Narahubung
- SPN Kaltim: Kornelis (+62 813-4814-5654)
- SBSS: Robiyansih (+62 852-7326-5048)
- Koordinator TPOLS: Rizal (palmoillabour@gmail.com)
- Koordinator KBS: Hotler Parsaroan (+62 858-4652-9850
Sadikit tambahan tekait dgn uoah pemanen buah sawit.
BalasHapusUpah yang di dapatkan mereka di hitung dengan basis tonase.
Basis tonase yersebut tidak bisa menjadi patokan pekerja/pemanen tsb, karena mereka tidak bisa menghitung hasil tersebut setiap hari dalam sebulan. Artinya pemanen pasrah atas upah tersebut.��